Thursday 24 March 2016

Antara yang Dijamin, dan yang Dituntut



Sumber: buletin.muslim.or.id
Sesuatu yang sudah dijamin, kamu tau? ini bukan tentang asuransi! Yang merupakan jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, atau jaminan hari tua. Ini bukan tentang jaminan dari manusia yang mereka sendiri belum tentu bisa menjamin diri sendiri.
Sedangkan sesuatu yang dituntut, kamu tau? ini bukan kisah seorang raja atau bos yang menuntut pekerjaan kepada bawahannya. Pun bukan pula seorang dosen yang menuntut tugas dari mahasiswanya. Atau bahkan orangtua yang menuntut anaknya segera menikah. Bukan!
Apa yang sudah dijamin di dunia ini? Ada kan? Ya, ada. Jawabannya adalah rizki. Lalu apa yang dituntut di dunia ini? Kamu tau kan? Bisa tebak? Nah, jawabannya adalah ibadah. Dan percayakah kamu dengan itu semua?
Jika kamu menengok nikmat badan ini, mungkin kamu percaya. Lihat saja! Kamu memiliki mata yang dengannya kamu dapat melihat dunia, itulah rizki. Kamu hidung yang dengannya kamu (dapat) mencium, itulah rizki. Kamu punya kaki yang dengannya kamu (dapat) berjalan, itulah rizki. Kamu punya akal yang dengannya kamu (dapat) berpikir, itulah rizki. Atau bahkan ketika kamu mampu tersenyum kepada saudaramu itu adalah rizki. Dan masih banyak nikmat lainnya.
Selain itu, kamu punya orangtua yang masih hidup, yang dengannya kamu (dapat) mendapat kasih sayang, itulah rizki. Kamu punya pasangan hidup, yang dengannya kamu (dapat) berbagi suka dan duka dalam hidupmu, itulah rizki. Hayoo, bisa kasih contoh lainnya? Nikmat sehat? ya. Muslim? wah kalau ini rizki yang sangat besar. Iman? Wah! Ini nih nikmat terbesar, karena ingkar merupakan bencana bagi orang beriman. Dan kamu pasti tau rizki itu apa, silakan lanjutkan sendiri ya. Hehehe
Sumber: www.distance-fromto.com
Namun, jika rizki sudah diberi, ingatkah kita pada Sang Pemberi?
Darman    : “Bang! Bang! Bang Ali!”
Ali            : Ali yang sedang bekerja di bagian bawah gedung tidak mendengar teriakan Darman yang sedang bekerja dibagian atas.
Darman: “Wah, gak kedengaran apa ya? Lembar logam dah.”
Ali            : “Wuih, ada uang, kantongin nih.”
Darman: “Yee, malah dikantongin, bukannya nengok ke atas. Coba yang ceban-an.”
Ali            : “Loh, ada lagi. Alhamdulillah rejeki anak sholeh.”
Darman: “Lah, susah banget ya nengoknya nih orangtua. Gua lempar batu juga nih.”
Ali            : plakkk. “Aduh, siapa yang lempar ini?” kemudian menengok ke atas.
Darman    : “Bang, gua yang lempar! Lagian dipanggil-panggil gak nengok!”
Ali            : “Oh, gua dipanggil toh! Hahaha sori deh, Man!”

Mungkin sesederhana ini mengenai rizki. Ibaratnya Darman adalah Tuhan dan Ali adalah manusia. Pada posisi mana kita akan melihat Sang Pemberi rizki? Apakah ketika mendapat nikmat walau sekecil apapun? Atau ketika mendapat nikmat yang begitu besar? Atau malah ketika kita menunggu mendapat azab (batu), baru kita menengok ke atas?
Ya, seringkali kita tidak sadar atau mungkin pura-pura tidak ingat darimana datangnya rizki. Seringkali kita mengkhawatirkan mengenai ini. Padahal bukankah ini sudah dijamin? Bagaimana dengan ibadah kita? Yang sebenarnya itulah yang dituntut dari kita.
Sumber: mostlikedtags.com
Yaa Rabb, aku tau ini semua ini milik-Mu
Aku memohon, jadikanlah aku sebagai sebenar-benarnya hamba
Yang mengerti bagaimana cara menerima yang baik
Yang mengerti bagaimana cara menjaga dengan baik
Dan mengerti bagaimana pengembalian yang baik
Aamiin

Wednesday 23 March 2016

Sebegitukah Kau percaya?



Sumber: www.amanahsedekah.com
Mungkin ia, tidak mudah menjiwai syukur
Dan kau tak tau kapan kau sampai padanya
Ketika sesuatu begitu terasa sulit
Sampai-sampai tidak memandang bahwa Ia mampu berkata “Kun!”
Mungkin memang kau harus percaya bahwa ada banyak orang yang berkumandang “Don’t give up!”
Atau mungkin kau lupa bahwa Ia sendiri mengatakan agar tidak berputus asa
Sumber: www.mrezap.com
Dan ketika Dia sudah meng-iya-kan
Kau harus ingat detik-detik itu
Dimana nikmatnya diberikan kepadamu
Ya, bukankah Dia memilihmu untuk mendapat amanahnya?
Tidakkah kau sadari bahwa pemberiannya adalah amanah
Sumber: kendyferdian.wordpress.com
Yaa Rabb, ampuni kami
Seringkali lupa karena “terlaaalu” pada nikmat-Mu
Juga meyakini bahwa segalanya berjalan karena usaha kami sendiri
Semoga Engkau selalu ajarkan kami
Bagaimana dzikir selalu menghias lidah ini
Serta bagaimana jalan pulang untuk kembali
Sumber: mohamadzakihalim.com

Friday 18 March 2016

Buku Terbaik Bagiku: Terapi Berpikir Positif (1)



Kemuliaan manusia terletak pada pikirannya.
(Pascal)


Hari ini aku ingin menceritakan buku yang baru aku beli. Ya, aku baru membelinya ketika ada Islamic Book Fair 2016 lalu. Sebenarnya aku tidak ada niat untuk membeli buku ini, sedari awal aku hanya ingin membeli buku sejarah dan linguistik. Eh, ketemu sama salah satu stand yang terdiri dari buku-buku motivasi atau character building, pokoknya yang berhubungan untuk perbaikan kepribadian. Nah, ternyata pas ditanya harganya, ada diskon 50% untuk setiap buku..hehe lumayan lah. Akhirnya aku pilah-pilih buku apa aja yang akan aku beli. Dan akhirnya ketemu! Judulnya Terapi Berpikir Positif.
Sebenarnya buku ini tergolong kedalam buku yang “agak jadul”, tapi keren! Kamu tau kenapa? Karena ini udah dicetak sebanyak “XXXIV”, terakhir cetak pada tahun 2015. Aku juga sudah pernah melihatnya di perpustakaan kampus. Tapi belum pernah meminjamnya. Dan sewaktu di IBF, ada kesempatan untuk membelinya,  I took it. Well, aku tidak menyesal sama sekali. Dan menurutku uang yang aku keluarkan memang tidak sebanding dengan isi yang ada didalamnya. Yaiyalah, ilmu kan mahal, mungkin harta yang aku punya saat ini tidak akan cukup untuk membeli ilmu. Kamu percaya kan kalau guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa? Kamu tau kenapa? Ya, karena ilmu itu tidak bisa dibayar. Guru adalah pahlawan karena mereka mengabdi. Gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan ilmu yang mereka ajarkan. Ustadz-ku biasanya menamakan uang bulanan yang guru terima adalah bisyaroh ‘hadiah’, bukan gaji (karena gaji adalah sesuatu yang diterima setelah melakukan pekerjaan atau bekerja sedangkan mengajar adalah bentuk pengabdian).
Balik lagi ke pembahasan sebelumnya. Buku yang aku beli ini termasuk International Bestseller. Kamu tau siapa yang menulisnya? Hehe bisa dilihat dari cover ya? Yupz, namanya adalah Dr. Ibrahim Elfiky. Buku ini memang sesuai banget sama judulnya, yaitu memang seperti “terapi”. Aku sudah mencobanya, walaupun belum sepenuhnya aku praktikan tetapi manfaatnya memang sudah dapat aku rasakan. Alhamdulillah. Banyak pertanyaan yang ada dibenakku sebelumnya akhirnya aku temukan jawabannya di dalam buku ini. Atau bahkan kejadian-kejadian yang aku spekulasi alasan-alasannya ternyata aku temukan juga di dalam buku ini. Buku ini benar-benar memberikan gambaran yang jelas mengapa kita perlu berpikir positif dan bagaimana strategi untuk selalu berpikir positif. Bagi kamu yang muslim, mungkin kamu juga akan menemukan alasan mengapa Allah ingin kita sebagai umat Islam agar tawakkal dan optimis terhadap-Nya. Bahkan pada bagian awal buku ini terlihat jelas ayat al-Qur’an surah adz-Dzariyat ayat 21.
Bagian Pertama: Kekuatan Pikiran
Pada bagian ini dijelaskan pengaruh pikiran dalam kehidupan manusia. Kamu tau pikiran itu mempengaruhi apa saja? Coba sebutkan! Atau sudah penasaran? Hehe oke oke, jadi begini yaa... aku akan kasih tau logika berpikirnya dahulu sebelum aku ceritakan lebih jauh tentang buku ini. Ada salah satu kisah menarik yang diceritakan sang penulis, aku mengutipnya dari buku ini halaman 4-5, begini ceritanya...
Ketika Anda merasa lapar dan di hadapan Anda tersaji tiga menu: makanan rumahan, makanan hotel berbintang lima, dan makanan dari keranjang sampah. Mana yang akan Anda pilih?
Ketika pertanyaan ini saya lontarkan dalam seminar dan pelatihan yang saya gelar, tak seorang pun memilih makanan dari keranjang sampah. Ada yang memilih makanan rumahan dan ada yang memilih makanan hotel berbintang. Mengapa demikian? Karena, setiap orang sangat memerhatikan kelangsungan hidupnya. Tak seorang pun memilih sesuatu yang berdampak negatif bagi kelangsungan hidupnya.
Jika manusia benar-benar tidak ingin meletakkan sesuatu yang berbahaya dalam tubuhnya, mengapa ia mengisi pikirannya dengan hal-hal yang berpengaruh negatif pada setiap aspek hidupnya, termasuk kesehatan jiwa dan raganya? Mengapa ia meberi gizi pikirannya dari keranjang sampah? Hal ini bergantung pada proses sebelumnya: orangtua, keluarga, lingkungan, sekolah, dan media informasi.
Jadi, kita hampir tidak punya pilihan gizi untuk pikiran dan proses perkembangannya. Kini saatnya kita memilih berbagai pikiran seperti halnya kita memilih makanan yang kita santap dan pakaian yang kita kenakan. Untuk mewujudkan semua itu, kita harus tetap tawakal pada Allah. Kita mulai dari memahami arti pikiran dan kekuatannya. Pikiran adalah kekuatan. Dalam al-Qur’an Allah SWT. membedakan antara orang yang berilmu dan yang tidak. Dia berfirman, (terjemahan) Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar: 9).
Nah, mengapa sih pikiran juga harus diseleraskan dengan makanan atau pakaian? Mengapa kita harus memilah-milih pikiran yang kita pilih untuk kita pikirkan? Karena, (1) Pikiran Memiliki Proses yang Kuat. Kita mungkin setuju kalau orangtua, keluarga, masyarakat, sekolah, teman, media massa, dan diri sendiri memiliki peran untuk mempengaruhi pikiran kita. Namun, yang terkuat dari ketujuh bagian tersebut adalah “diri sendiri”. Maka, kita perlu berhati-hati apakah yang kita pikir terhadap diri sendiri atau orang lain itu perlu kita masukan ke dalam pikiran? Karena jika kita terima dan fokus terhadapnya, tidak lama kita akan meyakini itu menjadi sebuah kebenaran. Contohnya, kalau ada orang yang bilang kamu itu bodoh. Bagaimana pendapatmu? Kalau aku sih “pura-pura gak denger” saja..hehe maksudnya, jangan diambil hati. Biarkan kata-kata itu pergi berlalu, berhenti untuk fokus memikirkan kata-kata itu. Anggap saja itu jebakan pikiran. Dan jangan sampai kamu berpikir bahwa kamu bodoh. Bagiku, tidak ada manusia yang bodoh, yang ada adalah manusia yang tahu atau belum tahu. Manusia yang mau belajar atau tidak. Nah, selanjutnya bagaimana jika ada yang memujimu pintar, misalnya. Kalau ini terserah kamu deh mau gimana, hehe yang jelas kita tetap harus berlindung kepada Allah. Karena sejatinya segala nikmat yang kita terima adalah dari-Nya. Kalau pandangan orang lain baik kepada kita, semoga kita lebih baik dari yang mereka pikirkan. Tetapi jika pandangan orang lain buruk kepada kita, semoga Allah senantiasa membuat kita lebih baik dari yang mereka pikirkan.
Selanjutnya adalah (2) Pikiran Membuat Arsip Memori dalam Akal. Nah, mungkin ini penting sekali untuk para orangtua bahwa setiap anak dilahirkan dengan kejernihan otak. Sejak lahir, anak-anak itu bersih. Kemudian, orangtua mengajaknya berkomunikasi. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa setiap kali mengetahui pengertian lain dari sebuah kata, terbentuklah file tersendiri untuk pengertian tersebut. Ketika seorang anak mendapatkan pengalaman dalam pengertian tertentu, akalnya akan merekam pengalaman itu dalam file khusus. Makanya, ada banyak kejadian anak-anak sejak usia dini sudah pandai menghafal al-Qur’an. Karena memang usia 7 tahun pertama merupakan usia emas bagi setiap anak. Apa yang mereka lihat dan dengar akan terekam. Akhirnya berbuah menjadi memori. Yang aku tau, dampak dari pengasuhan pada masa emas ini akan terlihat ketika anak sudah besar. Miris sekali ketika melihat ada anak-anak yang dibohongi oleh ibu atau siapa saja hanya untuk sekadar mencandainya. Ya, mungkin maksud kita adalah mencandainya dan menganggap itu hal biasa. Tetapi, bukankah itu merupakan pendidikan bagi sang anak? Jangan salahkan mereka jika nanti akan mudah membohongi orangtuanya. Naudzubillah.
Hmm, aku cukup sedih ketika anak-anak usia emas ini sudah “dibentak”, “dipukuli”, dan beragam tindak kekerasan lainnya. Aku berpikir, bagaimana nanti ketika ia besar? Bukankah ia akan meniru perilaku orangtuanya? Semoga semakin kesini banyak para orangtua yang lebih memahami cara mendidik anak dengan baik. Jika memang sudah terlanjur demikian, semoga ketika besar, anak-anak yang terlahir dengan pendidikan yang “kurang beruntung” akan dapat memilih jalan hidupnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Do’akan aku juga ya, semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik, karena ini juga merupakan bekal..hehe semoga jika memang nanti bisa merasakan menjadi ibu, aku bisa menjadi pendidik yang baik. Kamu juga ^^, in syaa Allah.
Hmm, sudah dulu ya? Sepertinya pembahasan ini masih ingin aku teruskan sampai beberapa episode..hehe gapapa kan? Bersambung ya... insya Allah nanti aku lanjutkan, masih bagian pertama loh! Don’t miss it! :)
Wallahu a’lam

Thursday 17 March 2016

Mau Diam atau Bergerak, Sama Saja!


Sumber: triabiru.blogspot.com

Saat ini, banyak orang di dunia, dari mulai anak-anak sampai orang dewasa, tidak terlepas dari yang namanya gadget. Tujuan penggunaannya pun beragam, ada yang digunakan untuk bersenang-senang, mengisi waktu luang, menjadi teman keseharian dikala sendirian, tetapi ada pula yang menggunakannya secara efektif. Semua ini dikarenakan kebutuhan setiap manusia akan media sosial untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dengan cepat. Segala sesuatu menjadi instan.
Adanya teknologi seringkali menjadikan setiap orang berpikir instan. Penginnya dapat hasil tinggi dengan usaha yang sedikit. Tak jarang kita juga melihat kehidupan sosial masyarakat yang kurang dari nilai-nilai kemasyarakatan seperti zaman dulu. Seperti, silaturahim yang kurang terjalin, kurang peduli terhadap tetangga, dan masih banyak yang lainnya. Hal ini terjadi karena salah satunya adalah menjadikan gadget sebagai kecupukan untuk menjalin komunikasi dengan orang lain.
Harusnya, penggunaan gadget memang disesuaikan dengan kebutuhan. Tidak digunakan secara berlebihan, atau bahkan sudah sedari dini memperkenalkan anak untuk memakai gadget. Saya sendiri tidak mau membiarkan anak saya memakai gadget untuk sekadar bermain games atau hal lainnya (eh, maksudnya nanti kalau udah punya anak..hehe), kecuali jika memang sudah pantas untuk diberikan, maka silakan saja.
Nah, fenomena saat ini, banyak media sosial yang digunakan untuk sekadar berkeluh kesah atau mengeluh. Bahkan tidak jarang ada juga yang meng-update  atau meng-upload sesuatu yang tergolong “aib”. Astaghfirullah. Saat ini, terlihat banyak orang yang tidak malu-malu untuk manampakkan itu semua. Aku berlindung pada-Mu, yaa Rabb...hmm, aku jadi teringat pengajian tadi pagi. Pagi tadi pembahasan tentang “Syurga”, dari kitab Aqidatul Awam. Syeikh menjelaskan bahwa di Syurga tidak ada lelah, tidak ada capek. Dan satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah “capek”. Kebiasaan kita kalau sudah merasa capek adalah mengeluh. Nah, tak jarang dari pengguna media sosial menggunakan media tersebut untuk mengeluh. Mengeluh pekerjaan yang banyak, mengeluh akan tugas yang tiada akhir, atau mengeluh akan hidup yang sedang dijalani. Padahal, sejatinya hidup memang bersifat capek.
Diam atau bergerak, sama saja! Sama-sama capek. Ketika banyak tugas, kita mengerjakannya, lama-lama tenaga terkuras dan kita merasa capek. Semua peran di dunia pasti menjadikan semua yang bertugas memainkan peran tersebut merasa “capek”. Bahkan ketika hari libur tiba, ketika kita mengagendakan untuk pergi refreshing atau jalan-jalan, pasti kita juga akan merasakan capek. Atau hal lainnya yang tidak membutuhkan pergi kemana pun, seperti tidur misalnya, pasti juga capek kalau terlalu lama. Maka, capek atau lelah memang hal yang sudah pasti didapatkan. Jadi, benarlah siapa yang beranggapan bahwa di dunia adalah tempat menanam, dunia adalah tempat berlelah-lelah. Karena hanya di syurga nanti kita tidak akan pernah merasakan yang namanya capek (semoga kita bisa bertemu di syurga-Nya ya^^). Kata-kata mengeluh “capek” ini menurut syeikh tidak perlu diucapkan. Ya, saya setuju. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan capeknya kita atau lelahnya kita dijalan mana. Karena mau dijalan lurus, berbelok-belok, naik-turun, atau bagaimanapun pilihan kita, kita “pasti” bertemu dengan yang namanya “capek”. Maka pantaslah ada istilah “Hidup Mulia atau Mati Syahid”, atau istilah lain yang disampaikan oleh Pak Jamil Azzaini adalah “Sukses Mulia”.
Sumber: twitter.com