Monday 29 February 2016

ODOP, Bukan Sekedar Mimpi!


Sumber: gambaru.me

Karena impian tak hanya untuk dibayangkan
Karena impian tak hanya untuk ditunggu menjadi nyata
Tapi, lebih dari itu
            Kau tau?
            Ini yang aku impikan
            Gerak angin yang menyerbukan bunga

Saat itu, ketika sedang membuka facebook untuk sekedar mengetahui kabar dunia maya, aku terkejut dengan adanya program One Day One Post (ODOP).
 “Ini apa?” aku penasaran.
Seorang teman membagikan posting-an mengenai ODOP. Aku langsung meng-klik dan mencari siapa yang menyelenggarakan program ini. Beliau adalah Bang Syaiha. Namanya adalah Syaiful Hadi, tapi seringkali dipanggil dengan sebutan Bang Syaiha. Untuk mengenal beliau, kamu bisa membaca http://www.bangsyaiha.com/, menambahkan pertemenan dengannya melalui facebook Syaiful Hadi, atau searching di Prof. Google.
Oya, kamu tau kenapa aku terkejut? Segitunya, ya?
“Program apa nih? Udah kaya ODOJ aja namanya.”
Ketika mencari tau, aku mengerti ternyata program ini merupakan program menulis dan mem-publish-nya setiap hari.
“Ini serius kan? Nulis? Ada mentornya? Dibimbing?” aku tidak menyangka.
Beberapa hari yang lalu-sebelum mengetahui ODOP­­-aku juga menemukan program semacam ini. Kau tau dimana? Dipikiranku.
Bagiku, ODOP bukan sekedar program yang Tuhan rencanakan untuk aku ikuti, tetapi jauh dari itu aku sudah membayangkannya. Beberapa hari sebelum join dengan ODOP, aku membayangkan akan ada suatu program atau komunitas online yang akan membimbing banyak orang dalam kegiatan tulis-menulis. Kau tau? Ini keren! Kau tau kenapa? Karena tidak banyak orang yang mengambil risiko dengan berkomitmen dengan hal semacam ini, hal yang bukan hanya ingin membuat sukses dirinya sendiri, tetapi juga orang lain.
Dari dulu, semenjak aku mengenal pelbagai penulis-semenjak masuk kuliah-, ketertarikanku terhadap bidang tulis-menulis semakin besar. Aku memang pernah ikut pelbagai program online, seperti ODOJ, ODOLA, dan kegiatan online by Whatsapp lainnya, sehingga ketika minat menulisku semakin membesar, aku membayangkan akan belajar bersama orang-orang pilihan yang senang dengan dunia menulis. Dan ternyata, terkabul!
Sebenarnya aku sudah mencari-cari klub kepenulisan yang tidak diselenggarakan secara online, tetapi aku tau kalau aku harus menyesuaikan segala kegiatan luarku dengan kegiatanku di pondok. Maka, kegiatan online lebih sesuai dengan kondisiku saat ini.
“Hmm, padahal baru beberapa hari yang lalu dibayangin, kok udah jadi kenyataan aja,” pikirku dengan perasaan tak menyangka karena ada program seperti ini.
Aku segera mendaftar. Tanpa berpikir panjang aku segera mendaftarkan diri.
“Oh, ada dua CP ya. Hmm, dua-duanya aja lah. Walaupun masih ada waktu 9 hari, setidaknya biar gak ketinggalan,” pikirku dengan rasa ingin segera terdaftar menjadi peserta.
Aku segera mengambil HP, dan menyimpan nomor telepon Mba Maya dan Mba Roma. Aku segera daftar dan tidak menyangka mendapat respon cepat. Kau tau? bahkan aku langsung ditambahkan ke dalam grup Whatsapp.
Ketika itu rasanya seperti berbunga-bunga. Senyum-senyum sendiri. Dan yang ada dipikiranku selanjutnya adalah info ini, mereka harus tau. Ya, aku segera membagikan informasi tersebut-mengenai pembukaan ODOP Batch 2-ke teman-teman dekatku. Aku share link-nya, dan aku katakan pada mereka “yang mau gabung grup nulis, yang mau bisa jadi penulis, ada grup WA biar diajarin tentang menulis dan blogging, akhir feb terakhir daftar, ikut yuk!” Akhirnya, satu dari mereka ikut bergabung, yaitu Hafsoh.
Aku berterimakasih pada-Nya. Aku berterimakasih pada Bang Syaiha, Mba Maya, Mba Roma, teman-teman ODOP, teman-teman yang membagikan informasi ini, dan setiap orang yang mengambil bagian dalam terselenggaranya kegiatan ini. Jazaakumullah khairan katsiiran (semoga Allah memberikanmu balasan kebaikan yang banyak). Aku berharap banyak para penulis hebat yang lahir dari sini. Hebat yang juga menghebatkan orang lain. Karena menulis bukan sekedar kata, tapi rangkaian indah yang dapat mengubah dunia.

Friday 26 February 2016

Sisi yang Berbeda





(Sumber: IG gambar kata)

Aku sudah mendengar
Aku sudah melihat
Aku sudah membaca
Kau bilang, “aku sayang”
                Apa maumu?
                Maumu apa?
                Jangan cuma bisa berkata
                Atas nama cinta
Kau kira semudah itu kah?
Berkata cinta padahal dusta
Coba lihat saja!
Kau lebih pilih mereka!
                Katanya kau paham
                Katanya kau sayang
                Paham untuk dirimu sendiri saja kah?
                Sayang hanya pada dirimu sendiri saja kah?
Jangan buktikan cinta!
Jika menghargai saja kau tak bisa
Jangan berkata cinta!
Jika menyapa hati wanita saja kau tak bisa
                Sudahlah!
                Cukup!
                Silakan saja marah!
                Kau tak akan paham sebelum jadi wanita.
***

Teman,
Laki-laki dan perempuan tercipta tak sama.
Yang aku tau, jika keduanya disatukan antara logika dan perasaan, darimana bisa bersatu? Maka yang ada adalah mau memahami, mau mengalah, mau menjadi peredam.
Yang aku tau, wanita akan baik selama benar-benar dibimbing dengan benar, dengan cara yang tepat atau sesuai dengan kondisi wanita tersebut.
Bagi laki-laki, jika kau sudah temukan wanita yang taat, apalagi yang dicari?
Bagi wanita, jika kau sudah temukan laki-laki yang mampu membimbingmu dengan baik, apalagi yang dicari?
Yuk muhasabah diri! :)
 

Sudahkah Mampu Menjadi Pembelajar?





(Sumber: hateporn.net)

Saat itu aku mendapat tugas membuat proposal untuk diseminarkan, maklum udah semester akhir. Walaupun masih mata kuliah, tetap saja harus dipersiapkan, berharap bisa lanjut untuk bahan skripsi.
Assalaamu’alaikum, Kak!” sapaku melalui telepon.
Wa’alaikumussalaam, ada apa, Barkah?”
“Bisa tolong bantu aku selama beberapa hari? Ada materi-materi yang ingin aku diskusikan sama kakak, bisa Kak?”
“Hmm, insya Allah, kapan?”
“Kakak bisanya kapan?”
“Lusa ya, sekalian ke kampus.”
“Ok, Kak!”
Sebut saja namanya Rena. Dia adalah kakak kelas yang menurutku paham mengenai objek yang aku teliti. Fakultas kita memang beda, dia dari Fakultas Syariah dan Hukum, sedangkan aku dari Fakultas Adab dan Humaniora. Aku berharap dia dapat membantuku untuk menjelaskan mengenai hukum-hukum syariah dan sekalian bisa sharing tentang penelitian yang akan aku lakukan.
Siang itu aku sudah berada di kampus, aku telepon dia untuk memastikan keberadaannya.
“Kak, lagi dimana?”
“Bentar ya, lagi nunggu dospem. Ketemu dimana nanti?”
“Sabana murah ya? Aku belum makan..hehe mau aku pesenin gak, Kak?”
“Gak usah, bentar lagi kakak kesana. Mau ketemu dospem sebentar aja kok.”
“Oke, aku tunggu disana ya!”
Aku menunggu Kak Rena selama sekitar 20 menit. Maklum, mahasiswi semester akhir ini memang sedang sibuk mengurus skripsinya.
“Hai, lama ya?”
“Gapapa Kak..hehe”
“Yuk, makan!”
“Iya silakan Kak, aku udah tadi, tinggal belum minumnya aja nih diabisin.”
Aku perhatikan dia memilih telor, sayur, dan bakwan. Sederhana memang menu makanannya.
Beberapa kali aku mengajaknya untuk membantuku sekaligus meminta pendapat atau masukannya mengenai objek penelitianku. Dia memang dikenal sebagai mahasiswi yang pintar, pengetahuan agamanya bagus. Selain belajar agama di Fakultas Syariah dan Hukum, dia juga sedang menjadi santri di salah satu pesantren di Ciputat.
Beberapa hari kemudian aku memintanya untuk berdiskusi kembali. Seperti biasa, aku mengajaknya bertemu ditempat makan, maklum kami biasa bertemu siang hari saat kondisi perut butuh asupan.
“Kak Rena, mau pesen apa?”
“Kaya kemaren aja, ya!”
“Lah, gak ganti, Kak? Ada ayam, ikan, daging padahal.”
“Gak, aku ga makan itu.”
“Oh, yaudah.”
(Sumber: kantinindonesia.com)

Setelah memesan makanan, kami makan dan lanjut berdiskusi. Aku jadi penasaran kenapa Kak Rena tidak memakan daging. Apakah dia seorang vegetarian?
“Oya, Kak. Tadi katanya Kakak gak makan daging. Kakak vegetarian ya? Apa gak suka? Atau lebih suka buatan bunda? Hehehe”, tanyaku sekaligus mencandainya.
“Aku ga makan itu.”
“Ia, kenapa alesannya, Kak?”
“Aku gak tau proses pembuatan atau pengolahannya gimana. Aku hati-hati aja.”
“Oh, gitu Kak!”
Baru pertama aku berinteraksi dengan orang yang cukup menjaga makanannya. Mungkin banyak juga orang seperti dia yang aku kenal. Namun, aku tidak sampai membahas masalah ini dengan mereka.
Sebenarnya aku tau kalau makanan yang kita makan akan mempengaruhi kinerja kita. Jika yang syubhat aja harus dijauhi, apalagi yang haram. Memang sih kita gak tau apakah setiap daging ayam yang dijual dirumah makan itu terjaga pemotongannya, pengolahannya atau tidak. Yang jelas kita harus berhati-hati saja.
Seringkali aku memperhatikan bentuk rumah makan sebelum membeli lauk-pauk. Kebersihannya seperti apa. Setidaknya kalau penjual mampu menjaga kebersihan ruangan makan atau dining room, dapur, dan kebersihan alat-alat makan, berarti penjual juga mampu menjaga kebersihan dan keamanan makanan yang mereka masak.
Aku pernah mengajak Kak Rena untuk sharing di tempat makan yang agak jauh dari kampus. Aku memintanya di tempat makan yang nyaman untuk dijadikan sharing. Dia menyarankan untuk ketemu di Domino Pizza. Saat sedang menunggu pesanan, aku tanya kenapa dia menyarankan ditempat ditempat itu.
“Kak, emang disini aman, ya?”
“Kamu gak liat tadi ada label halal MUI di pintu depan?”
“Yah, ga merhatiin.”
“Disini udah ada label halalnya, dibandingin tempat-tempat lain. Yaa kamu taulah maksudku.”
“Oh, iya Kak. Paham.”
Kak Rena merupakan salah satu orang yang menginspirasi. Dia sangat menjaga makanan yang masuk kedalam perutnya. Mungkin banyak dari kita (termasuk aku juga) kalau beli makanan yang memang maunya aja. Beli dipinggiran jalan, yang gak tau gimana proses pembuatannya atau kebersihannya. Atau ketika kita pergi ke mall, karena pengin merasakan makanan yang mahal, kadang kita kurang memperhatikan kehalalannya.
(Sumber: likeyuk.com)
Sebenarnya, yang aku tau mengenai masalah ini adalah yang penting makanan yang kita beli adalah hasil uang halal. Atau yang penting makanannya gak haram atau syubhat dan terjaga kehalalannya. Karena makanan yang kita makan akan mempengaruhi kondisi tubuh kita. Selain itu juga yang thayyib, yang baik, kalau memang lagi sakit dan dipantang untuk makan makanan tertentu agar cepet sembuh (walaupun itu makanan halal), yaa berarti makanan itu lagi gak thayyib buat kita.
Lanjut ke sikap Kak Rena. Ada kaitannya dengan pelajaranku di pondok. Pagi itu, ta’lim muta’allim, pembahasan tentang bab wara’.
“Muh, baca Muh!” pinta ustadz kepada salah satu santri putra.
faslun fil wara’, bermula ini itu satu fasal yang menjelaskan tentang wara’...”
(Sumber: talimaljawami.blogspot.com)

Selesai Muh membacakan salah satu fasal dari kitab tersebut (tidak satu fasal penuh), Sang Ustadz menjelaskan panjang lebar mengenai bagian yang sudah dibacakan Muh. Bagian awal fasal tersebut menjelaskan tentang pengertian wara’ seperti apa. Jadi, bersikap wara’ maksudnya menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halal haramnya (ketika menuntut ilmu). Didalamnya juga dijelaskan bahwa sebagian ulama meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW., beliau bersabda (terjemahan),
Barangsiapa tidak berlaku wara’ ketika belajar ilmu, maka dia akan diuji oleh Allah dengan salah satu dari tiga macam ujian, mati muda, ditempatkan bersama orang-orang bodoh, atau diuji menjadi pelayan pemerintah.”
Aku terdiam merenungi sabda nabi tersebut. Whaaaat? Mati muda? Maksudnya ditempatkan sama orang-orang bodoh gimana ya? Pelayan pemerintah? PNS gitu maksudnya? Cukup banyak pertanyaan dikepalaku.
Kemudian ustadz menjelaskan kembali.
“Aslinya, wara’ itu menjadi dari yang haram, tetapi sebenarnya lebih dari itu.”
Bagian selanjutnya dibahas pula bahwa santri yang bersifat wara’ ilmunya lebih bermanfaat. Belajarnya lebih mudah. Termasuk sifat wara’ ialah menghindari rasa kenyang, banyak bicara (yang tidak manfaat, kalau yang manfaat yaa gapapa), dan banyak tidur.
Aku baru tau. Oh, jadi wara’ tuh begini toh. Hati-hatinya pake banget. Aku langsung ingat Kak Rena. Dia memang sudah pernah belajar kitab ta’lim muta’allim. Sepertinya memang dia sedang mempraktekan apa yang sudah dia tau. Pantas saja dia berhati-hati dengan makanan yang dia makan. Dia adalah seorang yang sedang menuntuk ilmu atau belajar, terlebih lagi selain berstatus sebagai mahasiswa, dia juga berstatus sebagai santri. Aku jadi lebih paham selain dari penjelasannya, mengapa perlu berhati-hati terhadap makanan yang kita makan.
(Sumber: jalanakhirat.wordpress.com)
Aku masih penasaran kenapa sama sabda nabi tersebut. Kalau dari penjelasan ustadz-ku, yang dimaksud mati muda yaa memang mati ketika muda. Atau ujian lainnya adalah ditempatkan bersama orang-orang bodoh seperti di pelosok-pelosok. Atau menjadi pelayan pemerintah maksudnya bukan PNS, tapi pembantu. Kata ustadz, (intinya) lebih baik jadi pembantu kyai daripada pembantu pemerintah. Kita tau lah pemerintah sekarang gimana? Hehe
Aku sadar diri sih, masih agak susah untuk benar-benar mengaplikasian sikap wara’. Masih butuh proses untuk melakukannya dengan konsisten. Walaupun aku tau, kalau mau ilmunya berkah yaa setidaknya kita berusaha untuk jaga ilmu itu. Salah satunya dengan berhati-hati ini. Ngeri juga ya kalau ujiannya mati muda? Belum nikah..wkwk (eh malah becanda, lagi pembahasan serius padahal -_-)
Nah, makanya, yuk! coba setahap demi setahap. Tiap orang akan menjalani atau mempraktekannya berbeda-beda. Sesuai kesanggupan atau kemampuan masing-masing. Yang penting mencoba dan memulai untuk membiasakan diri. Ma’annajah (for us)!
***
Ini merupakan cerita yang terinspirasi dari kisah nyata. Namun, tetap ada modifikasinya pada bagian-bagian tertentu..hehe semoga bermanfaat ^^
Wallahu a’lam

Ciputat, 26 Februari 2016