Tuesday, 23 February 2016

Linguistik adalah Pilihan



Aku mengenalmu tanpa tau kamu awalnya, tapi sekali tau sedikit tentangmu, aku langsung tertarik. Mendalamimu semakin membuatku jatuh cinta. Karena kamu, aku dapat mengejar cita.

Sewaktu lulus SMK, aku bertanya pada ibu, kira-kira jurusan apa yang hendak aku ambil. Sebenarnya ibu tau aku maunya apa. Mau jadi apa. Sukanya apa. Tapi tetap saja aku harus bertanya agar tau bagaimana pendapat ibu.
“Mah, selain jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Nita ambil apa ya? Pilihan keduanya. Jurnalistik gimana?”.
Sebenarnya minatku pada bidang pendidikan. Selain itu juga aku suka menulis. Menulis puisi sih...hehe entah kenapa emang dari dulu sukanya sama seni. Baca puisi. Nyanyi. Menggambar walaupun menjiplak. Kerajinan tangan. Sampai aku berfikir kalau aku ini tipe kinestetik. Bener gak ya? Selain itu, karena pribadiku yang agak introvert, jadi lebih suka menulis. Rasanya kalau lagi punya masalah trus dibuat tulisan, hati terasa plong. Kadang, kalau lagi ada masalah, puitisnya keluar. Bikin puisi trus dikirim ke temen-temen dan mereka akhirnya kepo dengan apa yang terjadi padaku..hehe Udah gitu, suka aja sama jurnalisme, mengamati keadaan sekitar, kepo-in kepribadian orang, fotografi, walaupun belum sempat dikembangin karena minatnya gak sebesar pada dunia pendidikan. Makanya, lebih cenderung menjadikan jurnalistik menjadi pilihan kedua waktu pilih jurusan. Tapi, karena ibu gak tau, aku ga cerita, yaa aku manut aja sama ibu.
“Ambil yang bahasa Inggris aja!”
“Oh, yaudah. Nita ambil Bahasa dan Sastra Inggris jadi pilihan kedua ya!”
Seketika terdaftar menjadi calon mahasiswa UIN Jakarta. Mencari buku panduan belajar untuk dipelajari.
“Nit, mau beli buku kompilasi soal-soal Ujian Mandiri UIN, gak?”
“Mau dong, Her!”
Bersama Heri, aku membeli buku yang sama untuk dipelajari, berharap bisa diterima sebagai mahasiswa UIN Jakarta. Sampai pada waktunya ujian tiba. Aku datang dari Tangerang Kota menuju Ciputat yang berada di Tangerang Selatan. Waktu yang aku tempuh sekitar satu jam naik motor, bahkan bisa lebih jika macet terjadi. Tidak bisa dihindari kemacetan yang terjadi di jalanan antara Tangerang Kota dan Tangsel, apalagi kalau pagi-pagi. Namun, jalan Ciater yang kini telah diperluas telah mempermudah banyak kendaraan untuk cepat sampai ke tujuan. UIN adalah tempat terjauh pertama yang aku tempuh menggunakan sepeda motor. Lumayan terasa capeknya. Sampai sempat dibilang cewek super karena berani naik motor ke tempat yang jauh. Perasaan biasa aja deh! Haha. Ujian pun dimulai.
“Wah, ini soal bahasa Arab. Aduh! Soalnya aja gak ngerti, gimana jawabannya?”.
Sampai waktu ujian selesai, siang hari, adalah waktu untuk segera pulang dan kembali belajar untuk hari esok karena ujian berlangsung selama dua hari. Beberapa minggu menunggu pengumuman, aku bersiap-siap didepan komputer untuk melihat siapa saja yang diterima sebagai mahasiswa UIN Jakarta melalui jalur mandiri. Waktu telah tiba.
“Aduh penasaran! Udah jam berapa yaa? Ehh bentar lagi.”
Beberapa menit kemudian.
“Hmm...”
Aku merasa sedih. Kecewa karena tidak berhasil. Keinginanku untuk menjadi guru bahasa Inggris seakan sirna. Rasanya seperti nahan tangisan ditenggorokan. Mata yang mulai berkaca-kaca. Cuma bisa diem, dan bilang ke ibu tentang hasilnya.
“Mah, Nita diterima. Tapi bukan jurusan pendidikan. Di pilihan kedua.”
Alhamdulillah.”
Saat itu tetap tahan tangisan. Bicara pelan-pelan. Pura-pura bahagia karena diterima di UIN Jakarta. Setidaknya karena ibu pengin aku kuliah di universitas negeri.

Awal Mengenalmu
“Miss, dulu ambil D3 Sastra Inggris, kan? Susah gak?”
Pertanyaan pertama aku lontarkan kepada salah satu guru bahasa Inggrisku. Beliau dekat rumah. Sedari kecil memang beliaulah yang mengajariku bahasa Inggris. Beliau lulusan D3 dari salah satu Sekolah Tinggi Bahasa Asing di Karawaci, Tangerang. Aku menarik kesimpulan bahwa Sastra itu susah. Bahkan, bos ayahku sempat tidak melanjutkan kuliah karena sulitnya jurusan sastra. Segitu menyeramkankah sastra? Belum puas dengan jawaban sedikit orang. Aku tanya lagi pada mahasiswa Untirta yang mengambil jurusan Pendidikan Psikologi. Setidaknya yang aku pahami karena dia adalah mahasiswa, mungkin tau juga mengenai jurusan lain walaupun bukan yang ia dalami.
“Kak, jurusan sastra susah gak?”
Dan ternyata ada pola berpikir yang berbeda ketika aku bertanya kepada orang yang berstatus mahasiswa. Jawabannya lumayan melegakan jiwa dan raga..hehe karena intinya segala apapun akan bisa dikuasai jika kita mau belajar. Tidak ada yang mudah, yang ada hanya karena tidak adanya kemauan belajar.
Awal-awal menjalani masa perkuliahan, ada masa ta’aruf antar mahasiswa. Katanya wajib. Dapat sertifikat sebagai syarat skripsi. Entah benar atau tidak. Aku mengikuti kemauan kakak kelas yang menjadi panitianya. Dari pelaksanaan ta’aruf, diberitakukan bahwa masa-masa kuliah semester atas nanti akan ada konsentrasi jurusan. Wah, apalagi ini? Ada konsentrasi pada bidang literature, translation, dan linguistics. Baru denger linguistik, apaan ya?
Secara umum, linguistik berarti ilmu bahasa atau ilmu yang mempelajari bahasa atau ilmu yang mengkaji bahasa sebagai objek kajiannya. Itulah awal pertama aku tau tentang linguistik. Kalau untuk sastra, yang aku pahami intinya adalah menjadi kritikus sastra, padahal aku sukanya bikin karya seni, bukan mengkritik karya orang..hahaa makanya gak minat jadi anak sastra. Selain itu, peminatan translation yang urusannya menerjemahkan bahasa pertama ke bahasa sasaran. Masa keluar cuma jadi translator? Nerjemahin karya orang? Penginnya berkarya, punya karya sendiri. Dulu sempet berpikir begitu, maklum karena masih cenderung ingin jadi penulis. Padahal itu merupakan salah satu ilmu terapan dari linguistik yang penting juga, yang gak patut untuk diremehkan.
Setelah menjalani beberapa semester, hal yang di-galau-kan oleh mahasiswa jurusan BSI semester 5 adalah memilih konsentrasi. Sempat belajar general linguistics 1 dan 2 pada semester 4 dan 5. Begitu juga dengan literature  1 dan 2. Namun, memang belum terlalu tahu banyak tentang linguistik. Setidaknya aku mencoba menganalisis diriku sendiri. Aku tipe yang tidak terlalu suka membaca novel atau cerita. Kalaupun harus mendengar cerita, yaa cerita yang sesuai dengan minatku atau lebih memilih nonton film yang didasari dari sebuah novel. So, jadi anak literature bukan jadi pilihanku. Begitu pun dengan translation, rasanya masih kurang pengatahuanku tentang bahasa, masa udah pilih untuk menerjemahkan. Akhirnya, dengan terpaksa –karena tidak ada pilihan lain lagi, hanya tiga pilihan--dan rasa penasaran aku memilih linguistik. Bismillah
“Bar, pilih konsentrasi apa aja?”
“Linguistik aja, kamu?”
“Linguistik sama literature. Kok cuma pilih satu? kan di kolomnya disuruh pilih dua.”
“Yaudah, dua-duanya aku isi linguistik. Cuma mau itu aja. Daripada nanti dipilihin jadi pilihan kedua. Meningan menyatakan diri memilih linguistik dua-duanya..hehe”

Mulai Mendalamimu
Semester 6 adalah semester dimana kami mulai mempelajari ilmu bahasa secara terperinci. Masing-masing bidang dipelajari sebanyak 3 SKS. Mulai dari Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan Semantik. Sedari awal mempelajari, aku merasa ini jiwaku. Linguistik berada dalam jiwaku. Aku memang tipe yang penasaran dengan sesuatu yang terjadi atau kepribadian orang. Kenapa bisa begini? Kenapa bisa begitu?. Kenapa harus begini? Kenapa harus begitu?. Kenapa mereka begini dan begitu?. Dari mempelajari linguistik aku banyak belajar. Fonologi mengajariku akan beragam cara pengucapan lafal dalam bahasa Inggris. Salah satu dosen sempat bertanya padaku.
“Barkah, gimana caranya biar bisa pronunce sesuai native speaker? Rahasianya apa? Kamu tinggal di boarding school, ya?”
“hehe iya Pak.”
Sebenarnya aku tinggal di pesantren (baca: boarding school) setelah masuk kuliah, bukan sebelum masuk kuliah. Yasudahlah, sudah terlanjur dipahami kalau speaking-ku demikian karena aku tinggal di pesantren. Hari itu bukan saatnya menjelaskan bagaimana melafalkan bahasa inggris yang baik dan benar, karena aku pun masih belajar. Mungkin kebetulan aja beliau mendengar bacaanku seperti itu...hehe
Selain fonologi, morfologi mempelajari tiap kata. Rasanya sejalan dengan pemikiranku. Aku jadi tau apa itu morfem, derivasi, infleksi, bahkan pengetahuan singkat mengenai analisis wacana. Aku tau apa makna “s” pada kata cats atau gets. Yang satu menunjukkan makna jamak, sedangkan yang satu menunjukkan makna kala atau waktu.
Ada juga namana semantik. Mempelajari makna bahasa secara literal. Tuturan apapun yang tertulis ataupun tidak terulis yaa tidak dikaitkan dengan konteks. Selain itu, ada juga sintaksis yang membahas tata bahasa atau grammar. Awal-awal masuk terasa menegangkan. Bagaimana tidak, dosennya lulusan Universitas di Australia. Beliau memberikan referensi satu buah buku tata bahasa. GTG  karya Noam Chomsky. Generative Transformational Grammar merupakan hal yang beliau kuasai. Kami biasa memanggilnya Pak Ocid. Aku sempat tidak masuk mata kuliah beliau sebanyak satu kali. Rasanya seperti ketinggalan kereta dan tersesat dijalan. Sedangkan aku gak punya peta..hahaa becanda. Tapi jujur, memang agak kesulitan ketika ketinggalan satu saja pelajaran beliau. Beliau tidak mengadakan UTS, yang penting UAS bagus, katanya. Aku berfikir kalau mau lulus mata kuliah sintaksis yaa harus bagus diakhir. Tapi gimana, sempet keteteran karena ketinggalan sehari pelajaran beliau. Yasudah, aku berharap pertolongan Allah saja.

Berawal dari Surah asy-Syams
“Kah, pilih objek apa buat UAS sintak?”
“Gak tau nih, masih bingung. Kamu apa?”
“Aku lagu-lagu kayaknya.”
“Oh, ia nanti aja deh aku mah..hehe”
Masa UAS sudah sebentar lagi, sedangkan aku masih bingung mau melakukan penelitian terhadap apa. Aku searching kira-kira apa saja yang bisa diteliti dengan sintaksis. Dan akhirnya ketemu. Surah di al-Qur’an kayaknya seru juga. Kira-kira apa ya? Al-asr aja kali ya? Kan bagus tuh maknanya.
Didalam kelas. Seperti biasa setiap mahasiswa maju ke meja dosen satu per satu untuk menyerahkan tugas mingguannya. Tapi untuk kali ini, masing-masing dari kami juga melaporkan objek kajian yang akan dibahas ketika UAS.
“Kah, jadinya apa nih objeknya?"
“Ayat Qur’an.”
“Wuih, anti mainstream.
“hehe...(senyum)”
Sebenarnya dalam pikiran masih galau. Yakin nih? Beda sendiri? Surah apa ya? Kayaknya kalau al-asr dikit banget. Apa ya? Beberapa lama sempat berpikir untuk mengganti objek pembahasan. Aku berpikir ayat mana yang bermakna dan tidak terlalu pendek. Dan kira-kira yang bisa dikaitkan dengan salah satu tema sintaksis yang tidak terlalu mudah. Aku khawatir nilaiku kecil kalau memilih beberapa transformasi tata bahasa atau rumus yang agak mudah. Aku berpikir dan ternyata giliranku untuk maju kedepan sebentar lagi. Seketika aku berpikir mengenai surah asy-Syams. Surah yang didalamnya berisi sumpah Allah yang tidak banyak ditemukan pola yang demikian pada surah lainnya. Akhirnya aku memutuskan memilihnya.
“Sarinita Habarkah.”
“Ya, Pak.”
“Mana objeknya?”
“Ini, Pak.” (sambil mengeluarkan HP yang sudah searching terjemahan ayat-ayatnya)
“Apa ini?”
“Saya pilih terjemahan surah asy-Syams dari 1-8.”
“Oke! Bagus.”
Whaaaat? Secepat itukah? Lega rasanya. Padahal baru memilih beberapa waktu yang lalu, tetapi langsung disetujui. Alhamdulillah
Sebenarnya aku tidak berfikir untuk menggunakan rumus atau transformasi jenis apa. Aku tidak peduli nanti pada akhirnya menggunakan rumus yang sulit atau mudah. Yang penting objek penelitianku diterima. Karena ada beberapa mahasiswa yang dianggap suram karena belum menemukan objek yang pas.
Aku mulai mengerjakan tugasnya, awalnya aku memperhatikan kira-kira pakai rumus apa saja. Dan ternyata mudah semua. Kok rumusnya gak ada yang susah? Mau dapet nilai berapa? Yasudahlah, yang penting dikerjain dulu, masalah hasil serahkan pada-Nya. Ternyata mengerjakan penelitian sintaksis, letak kesulitannya bukan hanya pada rumus, tetapi bagaimana membuat diagram pohon yang sesuai dengan yang diinginkan atau rapi.

Diagram Pohon UAS Sintaksis

Wah, kayaknya untuk membuat satu diagram seperti diatas aja butuh waktu lama banget. Lupa berapa lamanya. Mungkin bisa sampai satu jam. Padahal kalau dilihat, gampang ya? Hehe tapi kenyataannya butuh ketelitian. Ngeliat yang miring sedikit, rasanya mata ini gak betah. Harus rapi pokoknya. Sebenarnya ini cukup sederhana, tidak terlalu rumit, hanya butuh waktu lama untuk menyusun kerangka agar terlihat rapi. Jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain mungkin mereka menggunakan rumus transformasi yang lebih sulit.
Akhirnya tugas pun dikumpulkan. Aku sudah tidak tau akan mendapat nilai berapa. Tidak mau menerka-nerka. Karena sepertinya mendapatkan nilai 80 itu susah. Bayangkan saja, lulus atau tidak bukan karena kehadiran ataupun keaktifkan saja, tapi 80% merupakan hasil dari nilai UAS. Maka aku berfikir bahwa tugas UAS bukan tugas sembarangan. Yaiyalah..hehe
“Bar, nilai sintak udah keluar.”
“Oya, kamu dapet berapa?”
“B.”
“Wuihh, selamat yaa! Aku belum cek nih, takut.”
Dan rasa penasaran segera keluar. Aku buka laptop. Nyalakan tethering HP. Connected. Buka ais UIN Jakarta. Pilih menu. Mahasiswa. Penilaian. Dan hasilnya ternyata gak seperti yang aku bayangkan. Ini serius? Sintak loh! Masya Allah, Alhamdulillah. Tadinya tegang banget, setelah tau hasilnya malah jadi senyum-senyum sendiri karena gak nyangka.

Belajar Psikologi
Selain sintaksis, aku menyukai bidang lain termasuk jiwaku, aku banget lah istilahnya. Yaitu psikolinguistik. Aku tidak terlalu mendalami psikolinguistik ketika belajar ilmunya pada mata kuliah psikolinguistik, namun aku mendalaminya ketika mata kuliah linguistik terapan. UTS pada mata kuliah tersebut adalah presentasi per kelompok mengenai salah satu cabang linguistik terapan. Dan saat itu kelompokku memilih pendeketan psikolinguistik. Objek kajiannya adalah penderita afasia. Ini juga istilah baru yang aku temui. Awalnya aku bingung, afasia adalah jenis penyakit yang berkaitan dengan bahasa. Seperti apa? Karena yang aku tau hanya, bisu, gagap, amnesia, dll. Tapi kali ini aku mendengar istilah afasia. Maka, rasa penasaranku mulai keluar lebih banyak. Setelah membaca mengenai afasia, maka kami memberanikan diri meneliti penderita afasia sebagai objek.
Aku mulai mencari video-video penderita afasia. Saat itu aku menemukan video salah seorang remaja wanita yang mengalami afasia semenjak umur 18 tahun karena stroke. Stroke yang dideritanya membuat ia lama-lama menderita afasia. Ia memahami apa yang orang lain katakan, namun ia tidak mampu membuat komunikasi  menjadi efektif karena tata bahasanya yang tidak sesuai grammar. Ini adalah jenis afasia broca. Dimana kerusakan otak terjadi pada daerah broca. Ia memahami apa yang orang lain katakan, namun ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang ingin ia ucapkan, cara bicaranya terbata-bata.
Saat aku mulai presentasi didepan kelas, sebagai perwakilan kelompok, aku menjelaskan panjang lebar mengenai afasia. Kritik dan masukan yang membangun datang dari dosen kami. Akhirnya kami diminta untuk revisi. Kami diminta untuk pergi ke RS A atau RS B, di Jakarta, untuk mengetahui proses penyembuhan atau terapi bagi para penderita afasia disana. Perasaan kelompok lain tidak sampai disuruh pergi ke tempat yang jauh-jauh deh. Revisi mereka masih bisa dijangkau. Kalau ini kan butuh waktu lama, apalagi berurusan dengan pihak luar atau instansi yang harus menggunakan prosedur. Mau selesai kapan?
Namun, kami mencoba membuat surat permohonan wawancara. Kami memilih RS B karena alasan jarak. Dibandingkan RS A, RS B lebih dekat jaraknya kalau dari kampus kami. Ini pertama kalinya aku mengadakan penelitian dan wawancara di lapangan. Karena banyaknya tugas pada minggu-minggu tersebut yang berupa presentasi, akhirnya kami baru menyempatkan diri membuat surat pada H-4.
“Gimana nih, Na? Bentar lagi. Bikin surat gak ya?” tanyaku.
“Yaudah, Kah. Kita coba dulu ke RS. Kira-kira bisa gak kalau langsung.”
“Oke. Kalau harus bayar, yaudahlah. Yang penting tugas kelar. Atau minta tambahan waktu aja karena alasan surat sampai sana lama?”.
“Gak mungkin lah, kan kita udah dikasih waktu dua minggu.”
“Yaudah, yuk berangkat!”
Well. Dengan proses yang panjang, Allah lancarkan prosesnya. Seakan-akan terjadi keajaiban karena kami dipersilakan mewawancarai terapis tanpa perlu melalui proses yang panjang. Sempat berpikir sepertinya enak yaa menjadi terapis. Dapat membantu menyembuhkan orang secara langsung. Sifat kesabarannya diuji. Bagaimana tidak? Terapis adalah orang yang dengan sabar melihat perkembangan pasien tiap periode atau sesi. Para terapis berusaha mencari teknik yang sesuai untuk setiap pasien. Bagaimana proses pengobatan yang dilakukan agar tidak jenuh? Bagaimana menghadapi orang yang tidak sanggup berbicara dengan lancar agar mampu berbicara cukup normal? Semua itu butuh proses yang panjang, maka dibutuhkan kesabaran dalam menghadapinya. Give applause buat para terapis ^_^

Tema Skripsi
Objek penelitian kali ini penginnya mengambil penelitian tentang sintaksis, psikolingustik, pragmatik, atau analisis wacana. Akhirnya aku lebih mendahulukan untuk memilih objek penelitiannya berupa wacana apa, tulisan atau lisan. Akhirnya dapat juga surat terbuka. Kata temanku, temaku ini anti mainstream. Walah, dari dulu bahasannya anti mainstream terus..hehe
Cukup panjang memikirkan pertanyaan apa yang sesuai dengan keinginan sang dosen pada mata kuliah metode penelitian ini. Akhirnya aku mengajukan tiga pertanyaan yang masing-masing terdiri dari teori yang berbeda. Walah, sebenarnya kebanyakan. Ternyata memang benar, kritik dan saran yang aku terima ketika menjalani seminar proposal adalah karena pertanyaanku kurang fokus. Akhirnya aku lebih memilih untuk membahas tentang implikatur surat terbuka. Ini merupakan kajian dari mata kuliah pragmatik. Sebenarnya aku ingin menelitinya dengan pendekatan analisis wacana kritis, tapi apalah daya pengatahuan tentangnya kurang dibahas disini, mungkin memang harusnya ada mata kuliah khusus yang membahas tentang analisis wacana.
Keingintahuanku tentang dunia Islam dan wacana lah yang menjadikanku menemukan objek surat terbuka sebagai penelitian. Bagaimana tidak, surat yang aku temukan berisi tentang ideologi ISIS dan pendapat para pakar, juga berisi terjemahan ayat-ayat al-Qur’an. Semakin membuat rasa penasaranku membesar terhadap dunia barat. Apa sebenarnya yang mereka sedang rencanakan saat ini? 

Berita Dunia Islam
Jika dikaitkan dengan dunia Islam saat ini, sungguh memprihatinkan. Walaupun aku tidak banyak tau mengenai pemerintah, tetapi ada saja informasi yang aku ketahui mengenai dunia Islam saat ini, bagaimana sikap pemerintah terhadap Islam saat ini. Dan setelah tau, sedihnya bukan main. Aku langsung share kepada teman-temanku, berharap mereka mengetahui dan waspada terhadap dunia yang semakin menjadi-jadi ini.
Antara wahabi dan syiah, dimana keberadaan ahlussunnah?
Aku tak menyangka, beginikah dunia Islam yang nyata?
Tak sanggup menahan air mata, bagaimana jadinya kalau tak tau arah?
Sudahkah ilmu menjadi hiasan, wahai para muslimah pembangun bangsa?
                       Jangan sampai salah melangkah, kau tau kan ini zaman apa?
                       Jangan sampai tidak melangkah, kau tau kan kita bertanggung jawab juga?
                       Jangan salahkan siapa, kau tau kan dunia menginginkan peran kita?
                       Jangan sekedar tengok mereka, kau tau kan berjuang itu lillah?

Cintaku Bersemi
Sepertinya aku tidak tau apa itu cinta. Yang aku tau, aku hanya suka. Aku ingin tau mengapa mereka menulis demikian? Mengapa mereka berkata demikian? Semuanya terkait dengan bahasa. Ya, ini terkait ilmu linguistik yang aku pelajari. Bagaimana seharusnya menyelesaikan hal ini dan itu? Rasanya semua ingin aku ungkapkan melalui bahasa. Aku juga ingin menjadi bagian dari mereka. Yang ikut berperang melawan penjajah yang kasat mata. Dengan tulisan pun bisa.
Zaman ini, media membuat banyak tulisan yang tak tau tujuannya apa. Materi? Sepertinya ia. Padahal kehati-hatian sangat diperlukan. Bukankah dosa ghibah sama dengan berzina dengan 70 orang? Bukankah dosa fitnah lebih besar daripada membunuh? Harusnya media menjadi sehat, karena bukan hanya dikonsumsi oleh orang-orang yang berpikiran sehat, tetapi sampai pada anak-anak. Miris rasanya melihat anak-anak sudah diberi gadget sedari kecil. Andaikan para orangtua lebih suka memberikan al-Qur’an, perkenalkan Islam sedari kecil, maka hal itu akan dijadikannya benteng ketika sudah dewasa. Kenapa anak-anak lebih baik tidak diberikan gadget ketika masih kecil? Karena pertumbuhan otak mereka belum sempurna. Masa keemasan anak-anak adalah usia 0 - 7 tahun. Sayang sekali jika tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
***

Karena alasan Islam inilah, kesukaanku terhadap linguistik kian bertambah. Karena tak kenal, maka tak sayang. Semakin aku mendalami, semakin tau manfaatnya, semakin bertambah sukanya. Kekurangan bukan halangan, yang penting saling melengkapi. Ehh, salah fokus kayaknya..hehe
***

Ini merupakan pengalamanku dengan adanya tambahan atau pengurangan dari beberapa sisi. Mohon maaf bila ada kesamaan nama, tempat, dsb. Jika ada yang keberatan atau salah-salah kata, mohon maaf ya ^^,
Terimakasih telah membaca. Semoga bermanfaat.

Ciputat, 24 Februari 2016

4 comments:

  1. Keren sekali pengalamannya, Sarinita.. tulisannya banyak memberikan info bermanfaat, suka banget!

    ReplyDelete
  2. Wah, pengalamannya banyak banget mbak Sarinita. Hikmah yang saya dapat adalah mensyukuri pilihan yang dipilihkan oleh Tuhan.

    Salam kenal dari Veniy, anggota grup ODOP. Kapan-kapan silahkan main ke blog saya :) http://veniyandriyani.blogspot.co.id/ :)
    #OneDayOnePost

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Mba Veniy, salam kenal ya ^^
      iya Mba, siaaaaap :)

      Delete